Rabu, 19 Desember 2012

gambar-gambar hindu uga cuy

Peradaban India Kuno (Peradaban Lembah Sungai Indus)



Lokasi : Lembah sungai Indus.

Kota yang terkenal : Mohenjo-Daro dan Harappa.



Peninggalan Kota Mohenjo Daro (Pakistan Selatan)



Peninggalan Kota Harappa

Profesi : petani, pedagang.
Berkembang : 1000 tahun.

Bangsa Arya : rumpun bangsa Indo-Eropa.

Sistem kasta:
1. Brahmana
2. Ksatria
3. Waisya
4. Sudra

Kepercayaan masyarakat India Kuno :
1. Hinduisme
2. Jainisme
3. Buddhisme

Kerajaan-kerajaan India Kuno
1. Persia
2. Dinasti Maurya
3. Raja Ashoka

Sumber :
Supriatna, Nana. 2007. Sejarah untuk Kelas X SMA. Bandung: Grafindo Media Pratama

Gambar-gambar dari Google.

gambar seputar agama hindu

selamat siang kawan-kawan kali ini rifqi akan memposting beberapa gambar tentang hinduisme mari kita lihat yuk.



Selasa, 18 Desember 2012

Filsafat Islam Sejarah Hidup dan Pemikiran Ibn Maskawih



Makalah
Disusun untuk memenuhi Syarat pada matakuliah Filsafat Islam
Dosen Pembimbing : Ibu Tien Rohmatin
 
Oleh  :
Fitri Astuti  (1111032100054)
Moh Muhyidin (1111032100052)


JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

PERIODISASI SEJARAH AGAMA HINDU PERIODE WEDA ZAMAN BRAHMANA DAN UPANISHAD





Makalah
Disusun untuk Memenuhi Syarat
pada Matakuliah Hinduisme





Oleh:
Dede Ardi Hikmatullah
NIM: 1111032100037

Khutbah Jum'at Menyambut Bulan Ramadhan 1433 H




………………………. أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ .يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيراً وَنِسَاء وَاتَّقُواْ اللّهَ الَّذِي تَسَاءلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيباً
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيداً . يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزاً عَظِيماً
,أَمَّا بَعْدُ،
Kaum muslimin Jamaah shalat Jumat yang dirahmati Allah.

Selasa, 27 November 2012

FILSAFAT WEDANTA

3. Wasistadwaita
Pemecahan sangkara terhadap persoalan yang di timbulkan Upanisad yaitu bahwa Brahman, di satu pihak di anggap sama dengan jiwa perorangan dan dengan dunia, akan tetapi di lain pihak di bedakanya, ternyata belum memuaskan segala pihak. Pembedaan sangkara antar Brahman yang tidak bersifat, dan Brahman yang bersifat (Nirguna dan Saguna Brahman) belum dapat di terima oleh semua golongan. Setelah jaman sankara timbul lah perdebatan tentang Brahman, yaitu apakah Brahman harus di pandang sebagai tanpa sifat (Nirguna) atau sebagai sifat (Saguna).[1]
Pemecahan yang lain diberikan oleh Ramanuja (1050-1137). Ia berusaha mempersatukan ajaran sekte Wisnu dengan filsafat Wedanta. Ramanuja menulis buku berjudul Sri Bhasya dan menulis komentar tentang Bhagawadgita. Aliranya di sebut dengan Wasistadwaita. Wasistadwaita berasal dari kata Wasista dan dwaita. Wasista berarti “yang di terangkan” atau “yang di tentukan” yaitu oleh sifat-sifatnya. Jadi Brahman yang satu itu diberi keterangan oleh sifat-sifatnya.[2]
Cara Ramanuja menjelaskan pandanganya itu adalah dengan mempergunakan “cara orang memakai bahasa” pada umumnya. Di dalam kenyataan sehari-hari kita sering mengidentikkan hal-hal yang sebenarnya berbeda; umpamanya Mawar adalah merah. Mawar adalah Subtansi, sedangkan merah adalah suatu sifat. Jadi keduanya tidaklah sama. Akan tetapi kita menguraikanya seolah-olah keduanya itu sama: “mawar adalah merah” suatu teladan yang lain. Dimana kita menyamakan dua hal yang berbeda ialah di dalam ucapan: “aku seorang laki-laki”. Aku adalah jiwa yang hidup sedangkan orang laki-laki adalah bentuk yang fana. Oleh karena itu keduanya tidaklah sama, namun di identikkan juga. Ucapan-ucapan seperti yang terdapat pada kedua contoh ini memang tidak dapat di kenakan kepada orang dan pakaian atau orang dan tongkat sebagainya. Tidak dapat dikatakan “orang itu adalah pakaian dan sebagainya. Akan tetapi dapat dikatakan bahwa “orang itu memiliki pakaian” atau orang itu memiliki tongkat.
Dengan demikian jelaslah bahwa:
a)      Hubungaan antara “Mawar” dan “Merah” serta “Aku” dan “Seorang laki-laki” berbeda dengan hubungan antara “orang dengan pakaian atau tongkat”. Pada contoh yangpertama hubungan kedua unsur itu lebih erat antara mawar dan merah dibandingkan dengan orang dan pakaian atau orang dengan tongkat.
b)      Bahwa hubungan yang terdapat pada orang dan pakaian atau tongkat itu hanya mewujudkan suatu penggabungan belaka.
Hubungan yang terdapat antara “Mawar dan Merah” antara “aku dan orang laki-laki” adalah merupakan hubungan yang tidak dapat dipisahkan, kalau pada “Mawar dan merah” merupakan hubungan subtansi dan sifat, sedangkan hubungan antara ”aku dengan orang laki-laki” adalah hubungan subtansi rohani dan subtansi badaniah (jiwa dan tubuh = aku dan laki-laki). Hal ini menyatakan bahwa kata yang pertama dinyatakan oleh kata yang kedua (mawar diterangkan oleh merah, jiwa diterangkan oleh laki-laki). Keduanya tidak bisa dipisahkan hubunganya (parthak siddhi). Dengan demikian pula halnya hubungan antara Brahman dengan jiwa dan Brahman dengan dunia, hubungan antara dua subtansi yakni yang satu rohani dan yang satu lagi badani. Baik jiwa maupun dunia tidak dapat digambarkan lepas dari pada Brahman. Hubungan antara Brahman dan jiwa sama dengan hubungan antara jiwa dengan badan manusia. Demikian juga ubungan antara Brahman dan dunia. Brahman adalah jiwanya dunia, yang sekaligus menjiwao jiwa manusia. Ketiganya dapat di gambarkan sebagai dua lingkaran yang berpusat satu. Pusatnya adalah Brahman, sedangkan jiwa adalah lingkaran yang kecil, dan dunia adalah lingkaran yang kecil, dan dunia adalah lingkaran yang besar, yang berada diluar. Jikalau demikian, maka dapat dikatakan ketiga-tiganya, Brahman jiwa dan dunia adalah sama-sama nyata (riil) namun tidak sama, tidak identik, tidak ada pada dataran yang sama, seperti halnya dengan jiwa dan badan manusia adalah sama-sama nyata (riil) namun tidak identik.[3]
Kesimpulanya adalah bahwa Brahman, jiwa dan manusia memang berbeda, tetapi tidak dapat dipisah-pisahkan, sekalian tiga-tiganya adalah kekal. Tekanan diletakkan pada: berbeda tetapi berhubungan yang erat sekali.
Ajaran Adwaita menekankan bahwa tidak dualisme, sebab Brahman adalah satu. Di dalam Wasistadwaita di tekankan bahwa yang satu itu diterangkan atau di tentukan oleh sifat-sifatnya, Brahman yang tunggal itu menjelma dalam jiwa dan manusia serta menjiwai kedua-duanya. Pendirian yang demikian itu diterapkan kepada segala ucapan, umpamanya disebutkan; “bunga teratai biru” ini adalah merupakan satu kesatuan, yabg terdiri dari;
a)      Subtansi benda yaitu bunga.
b)      Penguraiannya dengan kedua kualitas yang berbeda keadaannya dengan subtansi tadi, yaitu kualitas, “kebiruan” dan “keterataian”, semua ini sangat bergantungan, unsur yang kedua bergantung kepada unsur yang pertama secara tak terpisahkan. Ketiga unsur itu berada secara simultan atau pada waktu bersamaan.
Suatu contoh yang lain, jika melihat seorang jejaka, disebut “itu orang”. Orang tersebut dua puluh tahun yang lalu adalah bayi. Jadi jejaka dahulu bayi sekarang sudah jejaka, tetapi orangnya sama. Hal ini menunjukkan jiwa yang semula menjelma pada bayi itu sekarang menjelma pada jejaka. Jiwanya adalah satu. Disini ketiga unsur; jiwa, bayi dan jejaka, saling bergantungan, dan bahkan berada pada waktu yang bersamaan, melainkan waktu yang berurutan.[4]
Kesimpulanya ialah baik yang dijelmakan maupun yang dikwalifisir adalah sama, sedangkan unsur yang menjelmakan atau yang mengkwalisir berbeda, sekalipun tidak dapat dipisahkan. Dasar pemikir Ramanuja banyak yang memberi pujian dalam hal pemecahan masalah Wasistadwaita ini, sebab secara formal memang memecahkan kesukaran-kesukaran yang di timbulkan upanisad, yaitu bahwa disatu pihak Brahman dibedakan dengan jiwa  dan dunia tetapi di lain pihak disamakan juga.
Ramanuja berpendapat; “Memang benar Brahman berbeda dengan jiwa dan berbeda dengan dunia” tetapi dia juga mengatakan “Memang benar Brahman sama dengan jiwa dan sama dengan dunia ketigannya tidak dapat dipisahkan. sekalipun demikian perlu dipersoalkan apakah pemisahan ini sehat ? sekalipun ada unsure-unsur kebenaran dalam pandangan Ramanuja ini akan tetapi sukar untuk di anggap sebagai sosok dengan keseluruhan ajaran Upanisad. Unsur-unsur kebenarannya adalah:
a)      Tuhan atau Brahman berbeda dengan jiwa dan berbeda dengan dunia.
b)      Tuhan adalah pengawas dan tidak ada akhir-akhirnya yang berbeda dalam jiwa dan didalam dunia ini.

Mengenai kategori-kategori diajarkan, bahwa ada dua kategori yaitu: subtansi dan yang bukan subtansi yaitu kualitas atau sifat.
Yang dimaksud dengan subtansi adalah apa yang mengalami perubahan. Sekalipun Ramanuja mengajarkan adannya enam subtansi namun yang akan di bicarakan disini hanya tiga saja yang menjadi pembicaraan yang penting.

4. Dwaita
            Aliran ini menganggap dirinya sama tuanya dengan Upanisad, tidak ada yang dapat menentukan apakah anggapan itu benar ? yang jelas ialah orang yang terkenal atau sebagai tokoh yang terkenal atau sebagai tokoh aliran ini adalah  madhwa (1199-1278), jika kita perhatikan dari masa kehidupan para tokoh aliran wedanta ini, madhwa yang paling muda.[5]
Dwaita mula-mula berpengaruh dibagian barat india, akan tetapi kemudian pengaruhnya menjalar kebagian yang lebih luas. Madhwa sangat berpengaruh pada saat itu sehingga dikenal sebagi Purnaprajna artinya: orang yang telah mendapat fikiran yang sempurna. Madhwa juga di panggil oleh orang tuanya dengan nama Wasudewa. Hasil karyannya yang gterkenal ialah komentar atas kitab-kitab Upanisad. Atas kitab Bhagawadgita dan Wedanta – sutra serta beberapa tulisan lainya.
Sistim ? Wedanta seperti yang dianjurkan oleh Madhwa disebut Dwaita (dualis) sebab menurut Madhwa pokok-pokok ajaran filsafatnya adalah perbedaan (bheda). Sistim ini disebut juga realistis karena mengakui bahwa dunia ini nyata bukan maya. Akhirnya sistim ini juga bersifat theitis, karena menerima adanya Tuhan yang pribadi sebagai satu-satunya kenyataan yang berdiri sendiri (swatantra) dengan kata lain Madhwa mengakui/percaya. Dengan adanya manifestasi dari Tuhan yang beraneka ragam.[6]
Dasar ajaran Madhwa adalah mengakui adanya kenyataan yang beraneka ragam di dunia ini, semua mampu mempunyai cirri dan sifat tersendiri, sehingga menimbulkan perbedaan-perbedaan. Pada prinsipnya perbedaan itu adalah segala sesuatu yang mempunyai wujud tersendiri. Umpama; sapi sendirinya berbeda dengan kambing. Menyebut sapi dengan sendirinya menunjuk perbedaannya dengan kambing dan sebaliknya, menyebut kambing dengan sendirinya menunjuk kepada perbedaan kambing dengan sapi. Oleh karena itu sebenarnya orang tidak mampu mengetahui du hal sekaligus, guna untuk mengetahui  perbedaan kedua itu demikian pula halnya dengan filsafat tidak mampu membedakan sekaligus, tanpa mengenal satu persatu terlebih dahulu.
Menurut Madhwa di dunia ini ada lima macam perbedaan yaitu:
1)      Perbedaan antara Tuhan dengan Jiwa,
2)      Perbedaan antara Jiwa dengan Jiwa yang lainya,
3)      Perbedaan antara Tuhan dengan benda
4)      Perbedaan antara Jiwa dengan benda,
5)      Perbedaan antara benda yang satu dengan benda yang lainya.
Semua itu berbeda berbeda secara mutlak, sekalipun perbedaan itu tidak berarti bahwa semua itu tidak saling bergantungan umpamannya; tubuh bergantung dari pada jiwa, sekalipun keduannya sangat berbeda sekali. Hanya ada satu hal yang tidak bergantung pada hal yang lain yaitu adalah Tuhan, tetapi sebaliknya yang lainya bergantung pada Tuhan.
Tuhan , jiwa dan benda ketigannya sama-sama kekal adannya, sekalipun demikian hanya Tuhan yang merdeka dan bebas, yang bergantung pada siapapun dan apapun. Tuhan adalah kenyataan yang tertinggi dan memiliki sifat-sifat yang kaya sekali. Walaupun tuhan dapat di mengerti, akan tetapi Tuhan tidaak dapat dikenal oleh umat secara menyeluruh dan secara sempurna. Tuhan yang berhakekat-kan pengetahuan dan kegirangan itu adalah suatu pribadi, yang memiliki suatu kepribadian yang mutlak.
Menurut Madhwa bahwa didunia ini ada banyak jiwa yang tidak terhingga jumlahnya. Tiap jiwa berbeda dengan jiwa yang lain. Itulah sebabnya tiap orang memiliki pengalaman sendiri-sendiri, memiliki cacat sendiri, memiliki sengsara sendiri, dan seterusnya. Jiwa-jiwa itu berbentuk atom akan tetapi karena dipengaruhi oleh ikatan duniawi (nafsu) maka jiwa ini ikut menderita atau bahagia, padahal sebenarnya jiwa itu kekal dan abadi penuh kebahagiaan. Oleh karena di bungkus oleh karma  wesana maka jiwa-jiwa itu ikut menderita, sengsara  dan pada saatnya akan kembali numitis ke dunia ini.[7]
Secara umum dijelaskan bahwa jiwa yang ada didunia ini mempunyai tingkatan-tingkatan yaitu:
a)      Jiwa-jiwa yang bebas secara kekal (nitya), seperti umpamannya Laksmi, istri atau sakti Wisnu,
b)      Jiwa-jiwa yang telah mencapai  kelepasan dari sengsara (mukta) yaitu para Dewata, para Rsi dan nenek moyang yang telah mendapat kelepasan,
c)      Jiwa-jiwa yang terbelenggu (baddha), oleh segala papa dan dosa, jiwa terbelenggu ini ada dua kelompok yaitu:
1)      Jiwa-jiwa yang masih dibebaskan (mukti yogya),
2)      Jiwa-jiwa yang tidak dapat dilepaskan lagi, ini terdiri dari dua jenis juga yaitu:
                                                                                    I.            Jiwa yang untuk selamanya terikat akan hukum samsara.
                                                                                 II.            Jiwa-jiwa yang terus diikat oleh hukum samsara yang lebih rendah yakni jiwa yang dilahirkan menjadi jenis yang lebih rendah, hal ini tergantung pada jenis papa dan dosa yang dideritanya.
Ajaran Dwaita tentang proses terjadinya pengetahuan pada umumnya sama dengan ajaran Nyaya dan Waisesika, akan tetapi ajaranya tentang pengetahuan itu sendiri ada bedannya. Menurut Dwaita pengetahuan adalah suatu bentuk dari alat-alat (manas), sehinnga pengetahuan itu bersifat pada manas, bukan pada pribadi manusia. Namun dalam proses pengetahuan itu sendiri manusialah yang menjadi pelakunnya, sebab pribadi manusialah yang memprakarsai proses itu, sehingga ada hubungan antara pribadi manusia dan pengetahuan yang timbul.
Pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang sesuai dengan kenyataan yang ada di luar manusia. Pengetahuan yang salah juga memiliki obyeknya. Adapun obyeknya ialah “apa yang tidak ada” (asat). Hal ini diterangkan demikian; orang memiliki seutas tali sebagai seekor ular (kenyataannya tidak benar). Aliran Nyaya – Waisesika mengajarkan, bahwa ular itu ada, sekalipun bukan di tempat itu, melainkan di tempat lain. Dwaita berpendapat, bahwa ular itu tidak ada, baik di tempat itu, maupun di tempat lain. Kesalahan pengetahuan itu adalah bahwa apa yang tidak ada di sangka ada. Obyek pengetahuan yang salah memang tidak ada secara kenyataan, hanya bayangan saja yang menyebutkan ada seperti melihat ular, padahal tidak ada ular yang ada hanya tali saja,. Orang-orang pada umumnya bingung, menyangka yang sesungguhnya tidak ada dikatakan ada; hal ini di sebabkan oleh kegelapan pikiran manusia yang disebut dengan Awidya.


Kesimpulan
Berdasarkan uraiaan tersebut di atas dapatlah disimpulkan materi pokok yang di uraikan dalam filsafat Wedanta antara lain mengenai; Brahman, Atman/Jiwa dan Dunia. Pandangan terhada masalah ini timbul bermacam-macam pendapat sehingga menimbulkan aliran-aliran filsafat Wedanta.
1.      Aliran Wasistadwaita, dipelopori oleh Ramanuja yang mengajarkan bahwa di samping Brahman itu Nirguna Brahman, Jiwa dan dunia memang ketigannya berbeda dan sama-sama kekal, tetapi tidak dapat di pisahkan, merupakan satu-kesatuan organis. Brahman menciptakan dunia ini betul-betul pernama melalui prakerti Brahman. Tujuan hidup menurut Ramanuja adalah untuk mencap[ai alam Narayana, menikmati kebebasan dan kebahagiaan yang sempurna.
2.      Aliran Dwaita dipelopori oleh Madhwa, pokok ajaranya adalah perbedaan (bheda), mengakui kenyataan yang beraneka ragam di dunia ini dengan cirri dan sifat tersendiri, sehingga menimbulkan perbedaan. Dengan jiwa dan berbeda pula dengan dunia, sebab semuannya mempunyai ciri dan sifat tersendiri, tetapi semuanya saling bergantungan; dunia bergantung kepada Jiwa, Jiwa bergantung pada Brahman tetapi bukan sebaliknya. Tujuan hidup menurut Madhwa adalah untuk melepaskan diri dari segala keterikatan dengan jalan meninggalkan Awidya (kebodohan).  












[1]  Yayasan Dharma Sarathi, Tattwa Sarathi, hal. 76.
[2]  Hadiwijono, Harun, Sari Filsafat Idia, hal. 13.
[3] Yayasa Dharma Sarathi, ibid, hal. 82.
[4] Honig, Ilmu Agama, hal. 102.
[5] Yayasan Dharma Sarathi, ibid, hal. 85.
6 ali, Mukti, Agama-agama Dunia, hal. 43.
[7] Hiriyanna, M. outlies of Indian philosophy, hal. 134.

FILSAFAT MIMAMSA

A.  PENDAHULUAN
Hindu tidak hanya kaya akan konsep ketuhanan tetapi juga kaya akan konsep filsafat yang dikenal sebagai sad darsana atau enam cabang filsafat dimana masing-masing filsafat memberikan penggambaran akan Tuhan yang pada akhirnya bertujuan untuk mengajarkan bagaimana mencapai Brahman atau Tuhan.  Darsana identik dengan “visi kebenaran” yang satu dengan yang lainnnya saling terikat. Filsafat Hindu memiliki karakter khusus yang menonjol yaitu kedalaman dalam pembahasannya, yang mencerminkan bahwa filsafat itu telah dikembangkan dengan sepenuh hati dalam mencari kebenaran.   Semangat pembahasan yang menyeluruh dari konsep yang nampak berbeda lebih dihargai karena memiliki ketelitian dan kesempurnaan yang dicapai kebanyakan aliran pemikiran India. Apabila kita membuka karya lengkap mengenai Vedanta, kita akan menemukan pernyataan dari pandangan seluruh aliran filsafat seperti Carvaka, Bauddha, Jaina, Saiikhya, Yoga, Mimamsa, Nyaya dan Vaisesika, yang dibicarakan dan dipertimbangkan dengan ketelitian penuh tanpa ada kesan menyalahkan satu dengan yang lain; demikian pula halnya karya agung mengenai filsafat Bauddha atau Jaina, juga membicarakan pandangan filsafat lainnya. Sudah barang tentu kita akan mendapatkan bahwa banyak permasalahan dari filsafat Barat kontemprorer dibicarakan dalam sistem filsafat India. Disamping itu, kita mendapatkan bahwa para sarjana pribumi dengan dasar pendidikan menyeluruh dalam filsafat India, akan mampu menangani berbagai masalah filsafat bahkan permasalahan filsafat Barat yang rumit sekalipun dengan ketrampilan yang mengagumkan.
Filsafat Hindu bukan hanya merupakan spekulasi atau dugaan belaka, namun ia memiliki nilai yang amat luhur, mulia, khas dan sistematis yang didasarkan oleh pengalaman spiritual mistis dan spiritual. Filsafat ini merupakan hasil kepekaan intuisi yang luar biasa. Sad darsana yang merupakan 6 sistem filsafat hindu, merupakan 6 sarana pengajaran yang benar atau 6 cara pembuktian kebenaran.
Adapun bagian-bagian dari Sad Darsana adalah :
  1. Nyaya, pendirinya adalah Gotama dan penekanan ajarannya ialah pada aspek logika.
  2. Waisasika, pendirinya ialah Kanada dan penekanan ajarannya pada pengetahuan yang dapat menuntun seseorang untuk merealisasikan sang diri.
  3. Samkhya, menurut tradisi pendirinya adalah Kapita. Penekanan ajarannya ialah tentang proses perkembangan dan terjadinya alam semesta.
  4. Yoga, pendirinya adalah Patanjali dan penekanan ajarannya adalah pada pengendalian jasmani dan pikiran untuk mencapai Samadhi.
  5. Mimamsa (Purwa-Mimamsa), pendirinya ialah Jaimini dengan penekanan ajarannya pada pelaksanaan ritual dan susila menurut konsep weda.
  6. Wedanta (Uttara-Mimamsa), kata ini berarti akhir Weda. Wedanta merupakan puncak dari filsafat Hindu. Pendirinya ialah Sankara, Ramanuja, dan Madhwa. Penekanan ajarannya adalah pada hubungan Atama dengan Brahma dan tentang kelepasan.
Ke-6 bagian-bagian dari Sad Darsana diatas merupakan secara langsung berasal dari kitab-kitab Weda, kalau diibaratkan masing-masing bagian dari Sad Darsana itu merupakan jalan untuk menuju Tuhan. Dimana untuk mencapai Tuhan kita harus melalui salah satu dari keenam jalan tersebut. Memang jalan yang kita lalui berbeda-beda namun setiap jalan mampunyai tujuan yang sama yaitu menghilangkan ketidak tahuan dan pengaruh-pengaruhnya berupa penderitaan dan duka cita, serta pencapaian kebebasan, kesempurnaan, kekekalan dan kebahagiaan abadi.

B.  MIMAMSA
Adalah suatu keyakinan biasa pada zaman Veda bahwa ucapan-ucapan Veda, dengan diterima sebagai yang tidak sesat dan bebas dari kekeliruan dalam jalan apapun, merupakan otoritas tertinggi untuk mengatur bagaimana orang menghayati hidup.
1.     Pengertian
Secara etimologis, kata mimamsa berarti ‘bertanya’atau penyelidikan[1]. bagian pertama dari filasfat ini disebut Purwa-Mimamsa (Mimamsa), sedangkan bagian kedua disebut Uttara-Mimamsa (Vedanta). Mimamsa dan vedanta juga seringkali dijadikan satu pasangan. Sistem Mimamsa-Vedanta adalah dua bagian dari satu filsafat yang mewakili unsur paling ortodoks dari tradisi Weda. Kedua sistem ini menjelaskan perkembangan, tujuan, serta ruang lingkup teks Weda.
Filsafat Mimamsa yang akan dibahas adalah Purwa Mimamsa, yang umum disebut dengan Mimamsa saja. Kata Mimamsa, berarti penyelidikan yang sistematis terhadap Veda. Purwa Mimamsa secara khusus mengkaji bagian Veda, yakni kitab-kitab Brahmana dan Kalpasutra, sedang bagian yang lain (Aranyaka dan Upanisad) dibahas oleh uttara Mimamsa yang dikenal pula dengan nama yang populer, yaitu Vedanta. Purwa Mimamsa sering disebut Karma
Mimamsa, sedang Uttara Mimamsa disebut juga Jnana Mimamsa.
2.     Sejarah Singkat Tentang Mimamsa
Sebagai tokoh aliran Mimamsa ialah Jaimini yang hidup antara abad 3-2 SM dengan ajaran pokok yang diuraikan dalam kitab Mimamsa-Sutra. Dalam jaman kemudian ajaran dalam mimamsa-sutra dikomentari oleh para pengikutnya seperti : Sabaraswamin sekitar abad ke 4 Masehi dan Prabhakarya sekitar tahun 650. Serta yang terakhir oleh Kumarila Bhata sekitar tahun 700. Oleh karena itu dalam perkembangan selanjutnya terjadilah dua aliran dalam Mimamsa yaitu disatu pihak pengikut Prabhakara dan yang lainnya adalah pengikut Kumarila Bhata. Kedua aliran ini tetap berpegang pada pokok ajaran Mimamsa walaupun tujuan mereka masing-masing ada perbedaan.[2]        
3.     Ajaran Dalam Filsafat Mimamsa
Pokok  pembicaraan di dalam Mimamsa ialah peneguhan kewibawaan  kitab Weda dan pembuktian bahwa kitab Weda membicarakan upacara-upacara keagamaan. Oleh karena itu Mimamsa juga disebut Karma-Mimamsa.
Pada zaman Brahmana sudah dimulai adanya pembicaraan-pembicaraan tentang bermacam-macam hal yang mengenai upacara-upacara keagamaan, dan bahwa hasil dari pembicaraan-pembicaraan itu lalu disusun secara sistematis, yang kemudian menimbulkan kesusateraan yang disebut Kalpa-Sutra.
Ajaran Mimamsa dapat disebut pluralistis dan realistis, artinya: Aliran ini menerima adanya kejamakkan jiwa dan pergandaan asas bendani yang menyelami alam semesta ini, serta mengakui bahwa obyek-obyek pengamatan adalah nyata[3].
Sendi utama teori pengetahuan Mimamsa adalah pemahaman tentang keabsahan diri pengetahuan. tidak seperti teori pengetahuan lain yang mempertahankan bahwa klaim-klaim pengetahuan diketahui sebagai yang benar ketika mereka berhubungan dengan realitas, atau ketika mereka menuntun orang kepada tindakan yang berhasil, atau ketika mereka berpadu dalam satu sistem yang konsisten. Mimamsa menekankan bahwa kodrat pengetahuan itulah yang memberi kesaksian terhadap dirinya sendiri. Keyakinan kita akan kebenaran klaim yang ditunjuk pengetahuan dari kodratnya muncul sebagi satu sosok pengetahuan itu sendiri.[4]
Mengenai alat atau cara untuk mendapatkan pengetahuan Prabhakara mengajarkan lima cara, sedangkan Kumarila Bhata mengajarkan enam cara termasuk yang diajarkan oleh Prabhakara. Keenam cara itu ialah:
1.      Pengamatan (Pratyaksa)
2.      Penyimpulan (anumata)
3.      Kesaksian        (Sabda)
4.      Perbandingan  (Upamana)
5.      Persangkaan    (Arthapatti)
6.      Ketiadaan        (Anupalabdi)
Empat bagian diatas sama dengan apa yang diterangkan dalam filsafat Nyaya. Bila keempat cara pertama tidak dapat dipakai untuk mendapatkan pengetahuan (kebenaran) dari suattu peristiwa, maka akanlah dipakailah cara persangkaan. Walaupun disadari bahwa cara ini perlu dibantu dengan cara lain untuk memperoleh cara yang pasti.
Bila terlihat seseorang dalam keadaan senyum dan mukanya berseri-seri, maka dapat diduga bahwa orang tersebut mendapat sukses dalam usahanya.
Kemudian Ketidak adaan (Anupalabdhi) termasuk cara yang diajarkan oleh Kumarila Bhata dan tidak termasuk diantara cara dari Prabhakara. Ketidakadaan ini dapat diterangkan dengan suatu contoh, misalnya: bila seseorang masuk dan mengamati sekeliling kamar dan mengatakan tidak ada meja di dalam kamar. Dia tidak melihat meja karena memang tidak ada meja di dalam kamar itu. Jadi  orang memiliki pengetahuan dalam hal ini karena ketidakadaan (anupalabdhi) dan ketidakadaan itu memang tidak dapat diamati.
Diantara cara-cara tersebut didepan maka Mimamsa memandang bahwa cara kesaksian (sabda) yang paling penting dan utama. Karna kesaksian adalah pengetahuan yang berasal dari kata-kata atau kalimat-kalimat. Namun sebagai satu sarana pengetahuan yang sah, kesaksian menunjuk hanya pada klaim-klam verbal yang berasal dari sumber yang dapat dipercayai dan dimengerti secara benar.
Dalam hal ini adalah kesaksian kitab weda. Wedalah kebenaran yang tertinggi dan Weda pula sumber pengetahuan yang sempurna. Tidak seperti beberapa sistem yang lain, Mimamsa tidak percaya akan satu pencipta dunia atau satu pengarang ilahi kitab Weda. Sebaliknya, Weda merupakan perwahyuan langsung dan kekal dari realitas itu sendiri.[5]

4.     Weda Dan Dharma
Yang menjadi tujuan pokok Mimamsa adalah : Menyusun aturan dan teknik untuk menerangkan ajaran Weda terutama tentang pelaksanaan Dharma. Yang dimaksud dengan dharma disini adalah upacara-upacara keagamaan yang bersumber pada Weda, termasuk pula tuntunan kesusilaan. Dalam prakteknya Mimamsa sangat mengutamakan kesusilaan karna dinyatakan bahwa orang yang kotor secara kesusilaan sangat sulit dibersihkan melalui Weda. Kebersihan dalam kesusilaan merupakan  syarat mutlak didalam pelaksanaan upacara. Karna menurut Mimamsa dharma tidak menghasilkan buahnya secara langsung, melainkan  dengan pelantaraan, artinya : sekalipun orang melaksnakan segala upacara keagamaan dengan betul dan berdasarkan kemurnian kesusilaa, ia tidak langsung memeetik buahnya perbuatan itu. Hal ini terlebih-lebh berlaku bagi apa yang dianggap sebagai hasil tertinggi segala korban , yaitu sorga. Hasil ini baru akan dicapai setelah orang meninggal dunia.
Menurut Weda, dharma meliputi  dua macam tindakan yaitu tindakkan yang diwajibkan, baik berlaku pada umumnya, maupun yang berhubungan dengan upacara-upacara berkala, dan tindakkan yang tidak diwajibkan, yang fakultatip.
Mula-mula Mimamsa mengajarkan, bahwa tujuan hidup manusia yang terakhir ialah mencapai sorga, akan tetapi kemudian Mimamsa menyesuaikan diri dengan sistim-sistim yang lain, yaitu Moksa (kelepasan).
Jalan untuk mendapatkan kelepasan adalah pelaksanaanupacaraaupacara keagamaan seperti yang diajarkan oleh kitab Weda, yaitu tindakan-tindakan yang diwajibkan dan menjauhkan diri dari perbuatan yang terlarang. Karena keinginan yang berlebih-lebihan untuk mempertahankan kebebasan dan keutuhan Weda, Mimamsa tidak memberikan tempat tempat kepada Tuhan di dalam sistimnya. Weda tidak memiliki penyusun, baik manusia maupun Tuhan di dalam sistimnya. Seandainya dunia ini dijadikan oleh Tuhanyang mahakuasa dan maha pemurah, tidaklah mungkin di dalam dunia ada kesengsaraan. Dunia tidak dijadikan Tuhan, sebab dunia ini tidak berawal dan tidak berakhir. Tidak ada penciptaandan tidak ada peleburan dunia. Tidak ada waktu dimana akan ada dunia yang lain daripada dunia sekarang ini. Oleh karena itu juga tiada Tuhan. Bahkan dewa-dewa, yang kepadanya mula-mula korban-korban dipersembahkan apakah ada dewa atau tidak, bukan soal yang penting.
Arti sistim Mimamsa ialah bahwa sistim ini menyusun aturan-aturan untuk menjelaskan Weda. Hal ini memang perlu sekali[6].
  
5.     Tentang Alam
Berbicara mengenai alam semesta Mimamsa mengatakan bahwa alam ini real dan kekal serta terjadi atom-atom yang kekal pula. Alam ini tidak dibuat oleh Tuhan karena alam ini ada dengan sendirinya. Kedua aliran Mimamsa baik Prabhakara maupun Kumarila Bhata sama-sama mengajarkan adanya empat unsur di alam ini yaitu : Substansi, kualitas, aktifitas dan sifat umum.
Substansi menurut Prabhakara terdiri dari sembilan (9) yaitu:
a.       Bumi                                       f. Akal
b.      Air                                           g. Pribadi
c.       Api                                          h. Ruang
d.      Hawa                                       i. Waktu
e.       Akasa
Sedangkan Kumarila Bhata mengajarkan ada sebelas (11) bagian substansi yaitu sembilan yang diajarkan oleh Prabhakara dan ditambah dengan unsur lagi yaitu : kegelapan (tamasa) dan suara (sabda).[7]
Substansi, kualitas dan sifat umum sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dan dibedakan secara mutlak walaupun ketiga-tiganya mewujudkan satu kesatuan yang bulat. Dan substansi-substansi ini bukan terdiri dari atom-atom yang tidak dapat diamati. Hal itu disebabkan karena kitab Weda tidak menyatakan hal demikian itu. Bagian-bagian substansi dapat dapat diamati juga, seperti debu yang tampak di dalam sinar matahari.

C.  DAFTAR PUSTAKA
1.    Adiputra, I Gede Rudia, Tattwa Darsana, Yayasan Dharma sarathi, Jakarta: 1990
2.    Ali, Matius. Filsafat India. Sanggar Luxor, ____, 2010
3.    Hadiwijono, Harun. Sari Filsafat India, Gunung Mulia. Jakarta: 1985
4.    Koller, John M. Filsafat Asia, Ledalore, Flores: 2010


[1] Ali, Matius. Filsafat india, hal. 89
[2] Adiputra, Gede Rudia. Tattwa Darsana. hal. 36
[3] Harun Hadiwijono. Sari Filsafat India. hal. 77
[4] John M. Koller. Filsafat Asia. hal. 152

[5] John M. Koller. Filsafat Asia. hal. 155
[6] Harun Hadiwijono. Sari Filsafat India. hal. 80
[7] Adiputra, Gede Rudia. Tattwa Darsana. hal. 40