Makalah
Disusun untuk memenuhi Syarat pada matakuliah Filsafat Islam
Dosen Pembimbing : Ibu Tien Rohmatin
Oleh :
Fitri Astuti (1111032100054)
Moh Muhyidin (1111032100052)
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2012
I.
Pendahuluan
Moral dalam
filsafat Islam merupakan bagian yang amat penting karena hakikat kemanusiaan
itu adalah pada etika dan akhlaknya. Jika akhlaknya baik, maka akan baik juga
umat manusia secara keseluruhan. Bahkan Nabi menegaskan bahwa ia diutus ke
dunia ini tidak lain hanya untuk menyempurnakan akhlak manusia. Artinya sikap
dan tunduk seseorang adalah unsur yang utama dalam dirinya.
II.
Sejarah Hidup Ibn Maskawih
Ibn Maskawih
adalah seorang filosof dan sejarawan terkenal yang berpaling dari agama Magi
(percaya kepada binatang) menjadi pemeluk Islam.[1]
Nama lengkap Ibnu Miskawaih adalah Abu Ali Ahmad bin Muhammad bin Yaqub ibn
Miskawaih. Ia lahir di kota Ray (Iran) pada 320 H (932) M) dan wafat di Asfahan
9 Safar 421 H (16 Februari 1030 M).
Maskawih adalah
salah seorang tokoh muslim di bidang filsafat moral yang hidup pada masa
pemerintahan Dinasti Buwaihi pada tahun 932-1062 M. Beliau adalah pemikir Islam
pertama dibidang akhlak. Ia pernah belajar sejarah, terutama Tarikh al-Thabari,
kepada Bakr Ahmad ibn Kamil al-Qadhhi (350 H/ 960 M), dan belajar filsafat
dengan Ibn al-Khammar seorang komentator filsafat Aristoteles. [2]
Selain dua
disiplin di atas, Maskawih juga menekuni bidang Kimia dan Logika meskipun
kemudian dia lebih menonjol dalam bidang sastra dan kajian sejarah. Maskawih
pernah dijuluki sebagai al-Khazin yang berarti pustakawan. Julukan ini
didapat karena dialah orang yang pernah dipercaya untuk mengurus dan menengani
buku-buku dalam perpustakaan pribadi ‘Adhudiddaulah Ibn Suwaihi.
Dalam politik,
Maskawih menduduki posisi sebagai bendahara dinasti Buwaihi yang dipimpin
‘Adhudiddaulah Ibn Suwaihi. Tidak heran jika kemudian maskawih sering terlibat
dalam masalah-masalah praktis umat disamping kesibukannya sebagai tokoh yang
ikut andil dalam perdebatan teoritis para pemikir zamannya.
Maskawih
menulis banyak hal meskipun tidak semua yang pernah ditulisnya mampu menyaingi
tulisan-tulisan para filosof muslim lain. Dalam bidang filsafat, Maskawih telah
merumuskan kajian etika dengan system perumusan yang baik. Sulit untuk
menyangkal bahwa Ibn Maskawih merupakan salah seorang filosof muslim yang telah
mengabdikan seluruh perhatiannya pada peradaban Islam. Prestasi puncak Maskawih
terjelma dalam bidang Etika.
Adapun
karya-karya yang pernah dipersembahkan oleh Maskawih sebagai sumbangan
pemikirannya untuk intelektual Islam diantaranya :
1.
Al-Fauz al-Akbar
2.
Al-Fauz al-Asghar
3.
Tajarib al-Umam (sebuah sejarah tentang banjir besar)
4.
Uns al-Farid (kesenangan tiada tara, sebuah koleksi anekdot yang
ditulis dengan gaya bahasa yang tinggi dan penuh dengan sentuhan Moral)
5.
Tartib al-Sa’adah (akhlak dan politik)
6.
Al-Musthafa (syair-syair pilihan)
7.
Jawidan Khirad (kumpilan ungkapan bijak)
8.
Al-Jami’
9.
Al-Siyar (aturan hidup)
10.
On the simple Drugs (pengobatan sederhana)
11.
On the composition of the Bajats (komposisi bajat)
12.
Al-Asyribah (minuman)
13.
Tahdzib al-Akhlaq (mengenai akhlak)
14.
Risalah fi al-Ladzdzat wal-Alam fi Jauhar al-Nafs
15.
Ajwibah wa As’ilah fi al-Nafs wal-Aql
16.
Al-Jawab fi al-Masa’il al-Tsalats
17.
Risalah fi Jawab fi su’al al-Aql
18.
Thaharat al-Nafs[3]
III.
Filsafat Moral
Para sejarahwan telah sepakat bahwa Ibn Maskawih
merupakan filosof yang menitikberatkan filsafatnya pada bidang moral. Jika dalam terma penggabungan filsafat
dan agama, Ibn Maskawih cenderung dianggap tidak luar biasa, maka dalam
membahas kajian moral,Ibn Maskawih justru mampu menorah pemikiran yang luar
biasa. Di Bidang inilah, nama Ibn Maskawih
mengharum dengan pandangan-pandangan etis yang mampu menjadi rujukan masalah
moralitas dalam kutun yang panjang. [4]
Hampir setiap pembahasan moral dalam Islam,
filsafatnya ini selalu mendapat perhatian utama. Keistimewaan yang menarik
dalam tulisannya ialah pembahasan yang didasarkan pada ajaran Islam (Al-Qur’an
dan hadis) dan dikombinasikan dengan pemikiran yang lain sebagai pelengkap, seperti
filsafat Yunani Kuno dan pemikiran Persia. Dimaksud dengan pelengkap ialah sumber
lain baru diambilnya apabila sejalan dengan ajaran Islam dan sebaliknya ia
tolak, jika tidak demikian.[5]
Manurut Ibn Maskawih, Moral atau akhlak adalah suatu sikap mental (Halun
li al-nafs) yang mengandung daya dorong untuk berbuat tanpa berpikir dengan
banyak pertimbangan.[6]
Sementara tingkah laku manusia terbagi menjadi dua unsure, yakni unsur watak
naluriah dan unsur lewat kebiasaan dan latihan. Berdasarkan ide di atas, secara
tidak langsung Ibn Maskawih menolak pandangan orang-orang Yunani yang
mengatakan bahwa akhlak manusia tidak dapat berubah. Bagi Ibn Maskawih akhlak
yang tercela bias berubah menjadi akhlak yang terpuji dengan jalan pendidikan
(tarbiyah al-akhlaq) dan latihan-latihan.
Pemikiran seperti ini jelas sejalan dengan ajaran Islam karena kandungan
ajaran Islam secara eksplisit telah mengisyaratkan kearah ini dan pada
hakikatnya syariat agama bertujuan untuk mengokohkan dan memperbaiki akhlak
manusia. Kebenaran ini jelas tidak dapat dibantahkan, sedangkan akhlak atau
sifat binatang saja bias berubah dari liar menjadi jinak, apalagi akhlak
manusia.[7]
Masalah pokok yang dibicarakan dalam kajian akhlak adalah kebaikan
(al-khairi), kebahagian (al-sa’adah), dan keutamaan (al-fadhilah). Menurut Ibn
Maskawih, kebaikan adalah pencapaian keadaan manusia sampai pada batas akhir
kesempurnaan. Kebaikan adakalanya umum, dan adakalanya khusus. Diatas semua
kebaikan itu terdapat kebaikan mutlak yang identik dengan wujud tertinggi.
Semua bentuk kebaikan secara bersama-sama berusaha mencapai kebaikan mutlak
tersebut. Kebaikan umum adalah kebaikan bagi seluruh manusia dalam kedudukannya
sebagai manusia. Sedangkan kebaikan khusus adalah kebaikan bagi seseorang
secara pribadi. Kebaikan dalam bentuk terakhir inilah yang dinamakan kebahagian
sejati. Dengan demikian, Ibn maskawih membedakan antara kebaikan dan
kebahagiaan. Kebaikan mempunyai identitas tertentu yang berlaku umum bagi
manusia, sedangkan kebahagiaan berbeda-beda tergantung pada tipikal manusia
yang berusaha memperolehnya. [8]
Pendapat ini merupakan gabungan antara pendapat Plato dan Aristoteles.
Menurut Plato kebahagian yang sebenarnya adalah kebahagian rohani. Hai ini baru
bisa diperoleh manusia apabila rohaninya telah berpisah dengan jasadnya.
Sebaliknya Aristoteles berpendapat bahwa kebahagian dapat dicapai dalam
kehidupan didunia ini[9],meskipun
jiwa masih terkait dengan raga material. Hanya saja sifat kebahagian itu
benar-benar berbeda dan pastilah nisbi.
Adapun tema terakhir kajian moral selain kebaikan dan kebahagian adalah
persoalan soal arti keutamaan (al-fadhilah). Ibn Maskawih memandang bahwa azas
yang mendasari keutamaan adalah cinta kasih kepada semua manusia (mahabbah
al-insan li al-nas kaffah). Keutamaan tidak akan berdiri tanpa cinta kasih.
Keutamaan yang merupakan kunci terakhir menuju kesempurnaan; dua kunci sebelumnya
adalah kebaikan dan kebahagian.
Cinta kasih dianggap sebagai landasan keutamaan karena pada prinsipnya
akan membawa manusia pada pemeliharaan jenis dan sekaligus kemanusiaan.
Jejak-jejak cinta tidak akan terlihat jika manusia menyendiri dalam hidup dan berlaku
acuh pada masalah-masalah sosial zamannya. Atas dasar ini, Maskawih menyarankan
agar orang-orang istimewa yang dikarunia kecerdasan akali untuk tidak
menyendiri dan mau berkecimpung sebagai praktisi sosial.
Ibn Maskawih mengklasifikasi bentuk keutamaan dalam empat bagian, yakni :
1. Al-Hikmah dipahami sebagai sifat kebijaksanaan
2. Al-Iffah sebagai kehormatan diri
3. Al-Syaja’ah dapat diartikan sebagai keberanian
4. ‘Adalah merupakan tindakan keadilan.
Menurut Ibn Maskawih, sikap kebijakan erat kaitannya dengan kemampuan
jiwa rasional dalam diri seseortang dengan mengenal seluruh maujudat dari
persoalan soal isu-isu kemanusian sampai pengetahuan tentang ketuhanan.
Sedangkan bentuk keutamaan yang terjelma dalam kehormatan diri, berhubungan
dengan jiwa syahwat dalam diri manusia. Jika syahwat mampu dikendalikan oleh
rasiao, maka menurut Ibn Maskawih, manusia akan mampu menjaga kehormatan diri
dan tidak akan diperbudak nafsunya sendiri. Keutamaan jiwa keberanian
berhubungan dengan jiwa emosional, ketika rasio mampe mengendalikan jiwa
emosional pada diri seseorang, maka orang itu akan menjadi berani. Sedangkan
keadilan sebagai bentuk keutamaan terakhir tercipta berkat perpaduan semua
bentuk keutamaan sebelumnya dalam porsi yang tidak berlebihan. [10]
Ibn Maskawih juga menganalisis penyakit moral yang mewabah dan
menggerogoti peradaban Islam. Dari sekian banyak penyakit moral, Ibn Maskawih
menyebut perasaan takut sebagai penyakit utama. Dalam hal ini, perasaan takut
mati. Perasaan takut mati hanya menjangkit orang-orang bodoh dan sombong yang
mengingkari kemanusiaan. Tidak ada alas an untuk memelihara perasaan takut mati
jika tiap individu sadar akan inti kemanusiaannya. Pereraian jiwa dari raga
material hendaknya dipahamisebagai sarana menuju kebahagiaan tertinggi.
Selain perasaan takut mati, penyakit moral lain yang paling terlihat oleh
Maskawih adalah perasaan sedih. Perasaan sedih tidak jauh berbeda dengan
perasaan takut mati. Keduanya bersumber dari kebodohan intelektual yang tidak
mampu memahami ide kebahagiaan tertinggi. Namun demikian, Maskawih menjamin
bahwa filsafat adalah solusi untuk menyembuhkan kedua penyakit moralyang
menerpa jiwa tersebut. Filsafat membantu manusia memahami tiap peristiwa yang
menimpa jiwa.
Mengingat pentingnya pembinaan Akhlak, Ibn Maskawih memberikan perhatian
yang besar terhadap pendidikan akhlak bagi anak-anak. Bagi Ibn Maskawih, masa
kanak-kanak merupakan mata rantai jiwa hemawi menuju jiwa akali. Pada kiwa anak
berakhirlah ufuk hewani dan dimulailah ufuk manusiawi. Karena itu anak-anak
harus dididik dengan akhlak mulia. Sedini mungkin anak-anak harus mendapat
pendidikan akhlak yang mulia, sebab kesan pada pendidikan dini inilah yang akan
berakar kua dalam kehidupan mereka dimasa yang akan datang.[11]
Filsafat moral sangat berkaitan dengan psikologi, sehingga Maskawih memulai
risalah besarnya itu dengan akhlak, Tahdzib al-Akhlaq dengan menyatakan
doktrinya tentang ruh. Disini pemaparanya kurang filosofis, tetapi sangat terperinci.
Masalah peralihan dari psikologis akhlak disajikan pada halaman 18 hingga
21, yang, dengan mengikuti Plato, ia mempersamakan pembawaan-pembawaan ruh
dengan kebajikan-kebajikan[12]. Ruh mempunyai tiga penbawaan:
rasional, keberanian, hasrat, dan tiga kebajikan
yang saling berkaitan:
bijaksana, berani, dan sederhana.
Dengan keberkaitan ketiga hal itu,
kita dapat memperoleh yang
keempat, yaitu: keadilan. Orang-orang yunani bersifat teoritis dan spekulatif,[13] sehingga
Plato tidak dapat beranjak lebih jauh dari itu. Dengan memakai aturan pribadi moral, Ibn
Maskawih membagi kebijaksanaan menjadi tujuh: ketajaman intelegensi, kesigapan
akal, kejelasan pemahaman, fasilitas perolehan, ketepatan dalam membedakan,
penyimpanan dan pengungkapan kembali; sebelas bagian dalam keberanian, yaitu:
kemurahan-hatian, kebersamaan, ketinggian pengharapan, keteguhan, kesejukan,
keterarahan, keberanian, kesabaran, kerendah dirian, semangat dan
kepengampunan; dua belas dalam kesederhanaan, yaitu: malu, ramah, benar, damai,
menahan diri, sabar, berarti, tenang, saleh, keteraturan, menyeluruh dan
kebebasan (yang dibagi lagi menjadi enam); dan Sembilan belas bagian dalam
keadilan, yaitu: persahabatan, persatuan, kepercayaan, kasih sayang,
persaudaraan, pengajaran, keserasian, hubungan yang terbuka, ramah tamah, taat,
penyerah dirian, pengabdian kepadaTuhan, meninggalkan permusuhan, tidak
membicarakan sesuatu yang menyakiti orang lain, membahas sifat keadilan, tak
mengenal keadilan, dan lepas dari mempercayai yang hina, pedagang yang jahat
dan penipu.[14] Tetapi,
kita tidak dapat menentukan secara pasti apakah pembagian-pembagian dan pembedaan-penbedaan ini hanya dilakukan oleh Ibn Maskawih. Tentu ia dapat memperoleh manfaat bagi
dirinya dari para pendahulunya, terutama dari jalur abu Sulaiman al-Sajistani
al-Mantiqi yang gema karya-karyanya kita temukan dalam Muqabasat-nya
Tauhidi.
Sejauh ini Ibn Maskawih adalah Platonis,
tetapi sejak halaman
29, ia menjadi
Aristotelian dan menganggap kebajikan sebagai jalan tengah diantara dua kejahatan.
Ia menggunakan doktrin ini untuk mengartikan empat kebajikan utama,
dan dengan ini pula ia mengakhiri bab pertama.
Pada bab kedua,
Ibn Maskawih mulai membahas fitrah manusia dan asal-usulnya,
baik yang lahir dalam keadaan baik maupun jahat.
Ia mengutip pendapat
orang-orang Yunani terdahulu bahwa fitrah itu tidak pernah berubah,
tetapi ia menolak pendapat itu.
Kemudian ia mengambil pendapat Stoa
yang menyatakan bahwa manusia diciptakan dalam keadaan baik,
tetapi kemudian menjadi jahat karena kecenderungan mereka kedalam nafsu jahat dan memelihara perserkutuan jahat itu.
Ada pula pendapat ketiga, yang
mengatakan bahwa manusia diciptakan dalam keadaan buruk dan mereka dapat berubah menjadi baik hanya bila dengan pendidikan. Galen
menolak dua pendapat terakhir dan mengatakan bahwa manusia terdiri atas dua macam;
ada yang secara fitrah baik,
dan nada yang secara fitrah buruk dan
yang ketiga diantara keduanya. Akhirnya, Ibn Maskawih menyatakan pendapat
Aristoteles dalam Nicomachean Ethics dan pendapatnya sendiri bahwa
“adanya manusia bergantung kepada kehendak Tuhan, tetapi perbaikanya diserahkan
kepada manusia sendiri dan bergantung kepada manusia sendiri” (hal. 46).
Kesempurnaan yang dapat dicapai ada dua macam:
pertama, kesempurnaan teoritis,
dan kedua, kesempurnaan praktis.
Dengan kesempurnaan pertama,
ia akan memperoleh pengetahuan
yang sempurna, dan kesempurnaan
yang kedua, ia akan memperoleh kepribadian
yang sempurna. Manusia mempunyai tiga pembawaan:
yang tertinggi ialah akal,
yang terendah ialah nafsu,
dan diantara keduanya terletak keberanian.
Manusia pada mulanya adalah manusia. Dengan demikian,
kesempurnaan manusia terutama bergantung pada jiwa rasional. Pada setiap pembawaan terdapat banyak tingkatan,
yang oleh Ibn Maskawih dijelaskan secara terperinci.
Disini (hal. 67-78) kita dapati suatu bab
yang panjang tentang pendidikan anak dan remaja.
Bagian utama etika Ibn Maskawih dimulai dari bab ketiga
(hal. 90, dan seterusnya).
Pertama-tama, ia mengikuti Aristoteles,
sebagimana di komentari oleh
Porphyry. Tampaknya ia sepenuhnya bergantung pada komentar Prophyry terhadap tulisan Aristoteles Nicomachean
Ethics yang telah diterjemahkan kedalam bahasa arab oleh Ishaq Ibn Hunain dalam dua belasjilid.[15] Tetapi saying komentar itu hilang,
baik yang membahas Yunani, maupun
yang membahas Arab. Tapi dapat kita kumpulkan sesuatu dari bentuknya dari Tahdzib
al-Akhlaq-nya Ibn Maskawih.
Mengikuti Aristoteles,
Ibn Maskawih mengatakan
(hal. 90) bahwa kebaikan terletak pada terletak pada segala
yang menjadi tujuan.
Definisi ini
diperkirakan mungkin berasal dari Eudoxus
(sekitar tahun 25 S.M.)
yang disajikan dibagian awal dari Nicomachean
Ethics.[16] Selanjutnya Ibn Maskawih mengatakan bahwa apa yang
berguna bagi mencapai tujuan ini adalah baik, misalnya sarana-sarana dan tujuan
itu sendiri dapat disebut baik, tetapi kebahagiaan atau kebaikan merupakan
suatu kebaikan yang tidak mempunyai hakikat tersendiri dan berdiri sendiri.
Ibn Maskawih,
sebagaimana Aristoteles,[17] mengelompokkan kebahagiaan,
tetapi menambahnya secara terperinci,
yang diambil dari komentar
Porphyry. Mengelompokkan ini terdiri atas
(1) kesehatan, (2) kekayaan, (3) kemasyuhuran dan kehormatan,
(4) keberhasilan dan (5)
pemikiran yang baik.
Setelah memaparkan ajaran Aristoteles tentang kebahagiaan,
Ibn Maskawih menyodorkan pendapat-pendapat Hipocrates,
Pythagoras, Plato, kaum Stoa dan beberapa dokter
yang percaya bahwa tubuh adalah bagian dari manusia dan bukan alat bagi manusia;
karena itu kebahagiaan ruh tidak akan lengkap bila tidak disertai kebahagiaan tubuh.
Daftar Pustaka
Wahyudin, Udin. Fikih. Bandung:
Grafindo Media Pratama. 2008
Syarif, M.M. Para Filosof
Muslim. Bandung: Mizan, 1992
Basri, Hasan. Filsafat Islam
Sejak Klasik Sampai Modern. Bandung: Cv.
Insan Mandiri. 2009
[1] Udin Wahyudin, Fikih (Bandung: Grafindo Media Pratama,
2008), h. 37
[2] M.M. Syarif, Para Filosof Muslim, (Bandung: Mizan, 1992), h.
84
[3] Hasan Basri, Filsafat Islam Sejak Klasik Sampai Modern,
(Bandung: Cv. Insan Mandiri, 2003) h. 118
[4] Hasan Basri, Filsafat Islam Sejak Klasik Sampai Modern,
(Bandung: Cv. Insan Mandiri, 2003) h. 121
[5] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 135
[6] Hasan Basri, Filsafat Islam Sejak Klasik Sampai Modern,
(Bandung: Cv. Insan Mandiri, 2003) h. 118
[7] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 135
[8] Hasan Basri, Filsafat Islam Sejak Klasik Sampai Modern, (Bandung:
Cv. Insan Mandiri, 2003) h. 122
[9] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 136
[10] Hasan Basri, Filsafat Islam Sejak Klasik Sampai Modern,
(Bandung: Cv. Insan Mandiri, 2003) h. 126
[11] Hasan Basri, Filsafat Islam Sejak Klasik Sampai Modern,
(Bandung: Cv. Insan Mandiri, 2003) h. 126
[13]Briffault, The Making of Humanity, h. 191.
[14]Tahdzib al-Akhlaq, hh. 15-19.
[15]Ibn al-Nadim, op. cit h. 352.
[16]Nicomachean Ethics, 1094 a 3.
[17] Ibid., 1095 b 14-1096 a 10.
assalamu'alaikum.. izin copy ya kak :) salam kenal saya juga jurusan perbandingan agama di Medan :)
BalasHapus